Jika dibandingkan dengan hukum umum yang berlaku, hukum Islam memiliki watak-watak tertentu serta beberapa karakteristik yang membedakan hukum Islam tersebut dengan berbagai macam hukum yang lain. Karakteristik tersebut ada yang asalnya dari watak hukum itu sendiri dan ada juga yang berasal dari proses penerapan dalam lintas sejarah menuju ridha Allah swt. Dalam hal ini beberapa karakteristik hukum Islam bersifat sempurna, elastis dan dinamis, universal, sistematis, berangsur-angsur dan bersifat ta’abuddi serta ta’aquli.
Syariat merupakan ketentuan yang ditetapkan oleh Allah swt yang dijelaskan oleh Rasulullah tentang pengaturan semua aspek kehidupan manusia dalam mencapai kehidupan yang baik di dunia dan di akhirat kelak. Ketentuan dari syariat Islam terbatas dalam firman Allah swt dan sabda Rasulullah. Agar segala ketentuan (hukum) yang terkandung dalam syariat tersebut bisa diamalkan oleh manusia, maka manusia harus bisa memahami segala ketentuan yang dikehendaki oleh Allah swt yang terdapat dalam syariat tersebut. Karena makna yang terkandung dalam syariat (secara halus) tidak hanya aspek hukum saja, tetapi ada aspek lain, yaitu aspek i’tiqodiyah dan aspek khuluqiyah, maka pengertian dari syariat sendiri terkadang sering diartikan secara sempit sebagai hukum Islam (Islamic Yurisprudence).
Untuk membedakan antara hukum Islam dengan hukum umum, maka hukum Islam memiliki beberapa karakteristik tertentu seperti berikut ini.
1. Penerapan hukum Islam bersifat universal
Nash-nash al-Qur’an tampil dalam bentuk prinsip-prinsip dasar yang universal dan ketetapan hukum yang bersifat umum. Ia tidak berbicara mengenai bagian-bagian kecil, rincian-rincian secara detail (Yusuf al-Qardhawi, 1993: 24) Oleh karena itu, ayat-ayat al-Qur’an sebagai petunjuk yang universal dapat dimengerti dan diterima oleh semua umat di dunia ini tanpa harus diikat oleh tempat dan waktu.
2. Hukum yang ditetapkan oleh al-Qur’an tidak memberatkan
Di dalam al-Qur’an tidak satupun perintah Allah yang memberatkan hamba-Nya. Jika Tuhan melarang manusia mengerjakan sesuatu, maka dibalik larangan itu akan ada hikmahnya. Walaupun demikian manusia masih diberi kelonggaran dalam hal-hal tertentu (darurat). Contohnya memakan bangkai adalah hal yang terlarang, namun dalam keadaan terpaksa, yaitu ketika tidak ada makanan lain, dan jiwa akan terancam, maka tindakan seperti itu diperbolehkan sebatas hanya memenuhi kebutuhan saat itu. Hal ini berarti bahwa hukum Islam bersifat elastis dan dapat berubah sesuai dengan persoalan waktu dan tempat.
3. Menetapkan hukum bersifat realistis
Hukum Islam ditetapkan berdasarkan realistis dalam hal ini harus berpandangan riil dalam segala hal. Menghayalkan perbuatan yang belum terjadi lalu menetapkan suatu hukum tidak diperbolehkan. Dengan dugaan ataupun sangkaan-sangkaan tidak dapat dijadikan dasar dalam penetapan hukum. Said Ramadhan menjelaskan bahwa hukum Islam mengandung method of realism (Said Ramadhan, 1961: 57)
4. Menetapkan hukum berdasarkan musyawarah sebagai bahan pertimbangan
Hal ini yang terlihat dalam proses diturunkannya ayat-ayat al-Qur’an yang menggambarkan kebijaksanaan Tuhan dalam menuangkan isi yang berupa hukum Islam ke dalam wadahnya yang berupa masyarakat (Anwar Marjono, 1987: 126)
5. Sanksi didapatkan di dunia dan di akhirat.
Undang-undang produk manusia memberikan sanksi atas pelanggaran terhadap hukum-hukumnya. Hanya saja sanksi itu selamanya hanya diberikan di dunia, berbeda halnya dengan hukum Islam yang memberi sanksi di dunia dan di akhirat. Sanksi di akhirat selamanya lebih berat daripada yang di dunia. Karena itu, orang yang beriman merasa mendapatkan dorongan kejiwaan yang kuat untuk melaksanakan hukum-hukum-Nya dan mengikuti perintah serta menjauhi-larangan-larangan-Nya (Muh. Yusuf Musa, 1998: 167)
Hukum yang disandarkan pada agama bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan individu dan masyarakat. Tidak diragukan lagi ini adalah tujuan yang bermanfaat hanya saja ia bermaksud membangun masyarakat ideal yang bersih dari semua apa yang bertentangan dengan agama dan moral.
Begitu juga ia tidak hanya bermaksud untuk membangun masyarakat yang sehat saja, tetapi ia juga bertujuan untuk membahagiakan individu, masyarakat, dan seluruh umat manusia di dunia dan di akhirat.
T.M. Hasbi Ash-Shiddiqy mengemukakan tiga ciri-ciri khas hukum Islam yaitu: taqamul, wasathiyah, dan harakah.
Sumber :
ustirahmawati.wordpress.com
maszal.blogspot.co.id
Post a Comment