Barangkali menjadi seorang yang Muttaqin (bertaqwa) menjadi impian sekaligus tolak ukur kadar keimanan seseorang dalam hidup beragama, menjalankan syariat Islam baik secara vertikal maupun Horizintal.
Lalu, apa sebenarnya makna Taqwa yang sesungguhnya?
Hampir setiap minggu, tepatnya saat menjalankan shalat jumat, khatib senantiasa mengawali khutbah jumat dengan ajakan untuk meningkatkan ketaqwaan.
Dari sinilah kemudian banyak umat Islam yang mafhum betul atau sekedar tahu apa itu taqwa.
"Menjalankan segala perintah Nya dan menjauhi segala larangan Nya" - Itulah definisi taqwa yang sebetulnya tak perlu saya tuliskan tetapi jari saya begitu lancar untuk mengetik kata kata itu.
Dari sinilah kemudian muncul semacam paradigma yang begitu kental dengan sosok ideal seorang muslim syar'i, yaitu mereka yang senantiasa dekat dengan Masjid dan jauh dari segala bentuk urusan duniawi yang tak ada guna nya lagi menyesatkan.
Tapi benarkah sosok muslim yang syar'i (muttaqin) adalah meraka yang ibadahnya lancar?
Selain perasaan kagum, rasa segan juga muncul untuk orang-orang semacam ini. Sehingga tidak berlebihan jika saya katakan bahwa dari merekalah makna Islam yang Rahmatan Lil Alamin bisa kita peroleh."
# "Di lain kesempatan saya juga merasa iba melihat satu atau dua orang yang penuh ikhtiar dalam mengajak kepada kebaikan, berupa shalat misalnya, namun dirinya masih sangat jauh dari implementasi nilai-nilai ubudiyah itu.
Kita semua tahu bahwa tujuan tunggal dari shalat adalah amar ma'ruf nahi munkar - mengajak/membawa kepada kebaikan dan mencegah kebatilan. Namun yang menjadi problem saat ini adalah terkikisnya pengejawantahan nilai-nilai spiritual itu dalam praktik keseharian kita."
Dua kondisi ini kiranya bisa menjadi bahan renungan bagi kita bahwa penilaian terhadap sosok muslim yang syar'i (muttaqin) bukan hanya dilihat dari aspek ibadah vertikal semata. Atau bahasa gampangnya orang yang rajin shalatnya pasti orang yang bertaqwa.
Tidak segampang itu dalam menentukan dan memberi label ketaqwaan bagi seorang muslim. Terdapat begitu banyak kondisi dan sudut pandang yang harus kita perhatikan sebelum memberi kesimpulan semacam itu.
Jangan sampai kita terjebak dalam "fanatisme teologi keegoisan", di mana surga menjadi satu-satu nya tujuan kita dalam menjalankan perintah Tuhan dan menjauhi larangan Nya.
Saya tidak bermaksud mengajak anda untuk melupakan surga. Sama sekali tidak. Siapa sih manusia yang tidak menginginkan surga?
Semua umat manusia terkecuali atheis, pasti menginginkan surga sebagai bagian akhir dari proses kehidupan yang abadi.
Lalu apa maksud istilah "fanatisme teologi keegoisan" di atas?
Menjadikan surga sebagai tujuan dalam berbuat baik seperti shalat, sedeqah, dan berbagai bentuk kebaikan lainnya. Loh, kamu kok kaya liberal toh?
Bukan, bukan. Saya bukan seorang yang liberal atau apapun sebutan untuk seorang muslim yang "nyeleneh" otak dan hati nya. Begini loh, secara fundamental surga dan neraka adalah bentuk reward (hadiah/imbalan) dan punishment (hukuman, ganjaran) yang diberikan Tuhan kepada setiap manusia di muka bumi ini.
Jika dalam dunia kerja ada reward and punishment yang diberikan bos kepada karyawannya, apakah karyawan-karyawan di kantor itu akan bekerja dengan baik dan ulet hanya karena berharap mendapat reward serta tidak terkena punishment?
Jika masih ada karyawan yang orientasi kerjanya karena reward serta terhindar dari punishment, saya kira karyawan macam itulah yang harus segera di reduksi (PHK) agar tidak menghambat produktivitas serta memberikan efisiensi dan efektivitas bagi kantor yang bersangkutan. Setuju?
Nah jika setuju maka selamat sekarang kita sama-sama paham bahwa untuk mencapai derajat taqwa (produktivitas dalam beragama), maka orientasi kita bukan pada reward (surga) maupun punishment (neraka) melainkan pada Keridhaan Allah.
Padahal, dalam rumusan teologi Islam, seorang yang bertaqwa setidaknya akan melewati tiga fase yang mana "ridha" merupakan fase terakhir yangs seharusnya menjadi orientasi setiap muslim. Apa saja fase-fase itu?
# Taqwa, yaitu menjalankan segala perintah Nya dan menjauhi larangan Nya. Soal perintah dan larangan bisa kita dapatkan dalam sumber utama hukum Islam, Alquran, hadits, qiyas, ijma', dan fatwa-fatwa para ulama.
Puncak tertinggi dari Taqwa adalah tingkatan terendah dari iman
# Iman, merupakan keyakinan yang bersumber dari hati, diikrarkan dengan lisan, dan dibuktikan dengan perbuatan.
Puncak tertinggi dari iman adalah tingkatan terendah dari ridha
# Ridha, yaitu bersyukur atas segala ujian yang diberikan Allah kepada kita.
Diberikan kemiskinan, bersyukur. Diberi kekayaan tetap bersyukur. Diberi kesehatan, bersyukur. Bahkan saat diberi musibah pun tetap bersyukur. inilah Ridha. Dan inilah tingkatan tertinggi dari taqwa. !
Dengan demikian, untuk menjadi seseorang yang muttaqin atau setidaknya menyebut orang lain bertaqwa, kita harus menggunakan fase di atas sebagai indikator utama. Sehingga kelak kita takkan terjebak dalam paradigma sempit berupa fanatisme teologi keegosian tadi.
Post a Comment