Tuhannya orang bijak dan kebodohan sang atheis, begitulah judul tulisan kali ini, sebagai pencerahan bagi anda yang sering menghadapi orang-orang kusut baik hati maupun jiwanya.
Meski ditengah-tengah kegalauan diri, kegundahan hati, keterpurukan ekonomi, dan carut marut politik, sebagai orang bijak kita harus tetap tegar menghadapi setiap persoalan hidup sebagai tantangan dan kesenangan. Kenapa, anda belum merasa menjadi orang bijak?
Bacalah ulasan saya sebelumnya yang dengan penuh kehati-hatian dan kekhusyuan ditulis bagi mereka yang mau menjadi orang bijak.
Dalam beberapa hari ini pikiran saya kian kusut mengikuti tren kusutnya perekonomian bangsa. Benar-benar bombastis saya pikir, sampai-sampai kekusutan itu menimpa pribadi-pribadi tak berdosa seperti saya ini, dan mungkin anda.
Yasudahlah, disini kita tidak akan membahas itu. Bagi orang bijak seperti saya dan anda (gak ada salahnya meninggikan diri sejenak), kebutuhan akan bacaan "pencerahan" lebih penting ketimbang bacaan-bacaan berbau politik itu, ya kan?
Barangkali kita tetap akan selalu membutuhkan kata kata bijak sampai kapanpun, tetapi sampai kapan kita menjadi orang yang mahir berkata-kata namun nihil "pencerahan" jiwanya?
Suatu ketika seorang pemuda pergi ke tukang cukur untuk memotong rambut dan mencukur jenggotnya. Sebut saja pemuda ini sebagai orang bijak yang menjadi pelanggan, dan si tukang cukur sebagai manusia atheis.
Ketika si tukang cukur ini memulai pekerjaannya, mereka mulai mengakrabkan diri dengan saling menanyakan asal dan tempat tinggal serta percakapan ringan lainnya.
Tak jarang persoalan politik dan ekonomi yang kekinian pun menjadi bahan curhatan sang tukang cukur, dia mulai menyalahkan pemerintah yang tidak becus mengurusi bangsa, bahkan masyarakat seperti dirinya begitu susah mencari pekerjaan sampai harus membuka usaha seperti ini.
Sang tukang cukur pun tak tanggung-tanggung mengomentari karakter para pejabat negara yang tingkat "kebiadabannya" melebihi daya intelektualitas mereka. Sang pemuda hanya diam membisu dan membatu, manggut pun tak bisa (kan lagi dicukur).
Pembicaraan terus berlanjut menemani berlalunya momen-momen pencukuran, sampai kemudian sang tukang cukur menyinggung tentang Tuhan, titik perbincangan paling krusial yang sontak akan membuat hati setiap insan yang bertuhan kaget dan bingung.
"Saya tidak percaya bahwa Tuhan itu ada", kata sang tukang cukur spontan, datar, tanpa emosi dan beban dosa.
Pemuda itu pun menanggapinya dengan penuh keheranan, "kenapa?", tanya sang pemuda
"Coba saja kamu keluar dan perhatikan realitas kehidupan. Banyak orang menderita, kelaparan, kejahatan, dan kemiskinan. Kenapa masih banyak orang-orang miskin, orang-orang terlantar, dan orang-orang yang menderita, jika Tuhan itu ada? Kenapa?"
"Saya tidak membayangkan ada Tuhan yang maha kasih tetapi membiarkan makhluknya berada dalam kesengsaraan semacam itu."
Sang pemuda hanya diam dan tetap memutuskan untuk tidak menanggapinya karena malas untuk berdebat.
Pemuda itu langsung masuk lagi dan berkata kepada si tukang cukur, "Saya tidak percaya bahwa tukang cukur itu ada."
Sontak tukang cukur itu kaget dan bertanya : "kenapa? saya baru saja memotong rambutmu dan merapikannya."
"Jika tukang cukur itu benar-benar ada, maka tidak ada orang dengan rambut gondrong, acak-acakan, dan berjambang lebat seperti orang di luar itu," kata sang pemuda sambil menunjukkan orang yang dimaksud.
"Ah, tukang cukur itu tetap ada, hanya orang itu saja yang malas datang kepadaku untuk sekedar merapikan rambutnya", sang tukang cukur menimpali.
"Tepat sekali", kata sang pemuda.
Itulah yang kumaksudkan, Tuhan itu ada! Namun apa yang terjadi? Kebanyakan manusia itu tidak datang kepadaNya dan tidak pernah mau mencari Nya, itulah sebabnya terdapat begitu banyak kesengsaraan, kemiskinan,dan penderitaan di dunia ini.
Demikianlah sekelumit kisah kehidupan manusia yang semoga mampu membawa seberkas cahaya pencerahan bagi anda, untuk menjadi insan yang bijak, cerdas, dan konsisten. Sekian, wassalam!
Post a Comment