Cerita inspiratif kali ini dikisahkan oleh seorang ibu pada sebuah majalah terbitan Amerika. Sang Ibu memiliki seorang putri kecil bernama Laura yang mengidap penyakit disleksia. Disleksia itu sendiri merupakan sebuah penyakit di mana penderitanya mengalami kesulitan dalam belajar yang umumnya dalam hal membaca dan menulis.
Di hari ulangtahun putrinya yang ke delapan, si Ibu telah berjanji akan membacakan sebuah buku di hadapan teman-teman kelas Laura. Sepanjang malam sebelum hari tersebut datang, dia terus mengkhawatirkannya. Paginya pun saat sedang sarapan si Ibu memastikan lagi pada putrinya.
“Kau yakin, Laura, buku itu yang kauingin Ibu bacakan?”
Laura mendongakkan kepalanya dari sereal di mangkuknya, lalu menatap ibunya seraya berkata, “Ya, Bu, aku yakin. Bu Little bilang agar meminta Ibu membacakan buku favoritku dan 'Thank You, Mr. Falker' adalah buku favoritku.”
Ibunya tahu Laura menyukai buku itu, dan ibunya juga menyukai buku tersebut. 'Thank You, Mr. Falker' adalah buku karangan Patricia Polacco, seorang penulis buku anak-anak, yang mengisahkan tentang perjuangan Patricia Polacco sendiri di masa sekolahnya sebagai seorang pengidap disleksia.
Di buku tersebut Patricia Polacco bercerita bagaimana dia digoda dan dikerjai oleh teman-temannya. Di saat dia di kelas 5, Mr. Falker, gurunya, menyadari bahwa Patricia kecil mengalami ketidakmampuan dalam belajar dan karenanya mengajari dia untuk membaca. Di akhir kisah buku Patricia menceritakan tentang pertemuannya dengan Mr. Falker beberapa tahun kemudian dan memberitahukan padanya bahwa dia kini adalah seorang penulis dan seniman. Dan itu berkat kontribusi besar Mr. Falker dalam mengubah hidupnya.
Karenanya besar sekali arti buku tersebut bagi Laura yang setahun sebelumnya didiagnosis mengalami gangguan dalam belajar berbahasa, dengan kata lain disleksia.
Pada awal tahun ajaran di kelas dua, Laura tidak mampu dalam membaca. Namun itu sama sekali tidak menjadi hambatan baginya. Dia memiliki banyak pendapat dan berani untuk mengungkapkannya. Dia menceritakan berbagai kisah-kisah karangannya dan seperti halnya Patricia kecil, penulis buku favoritnya tersebut, Laura juga bisa dibilang memiliki bakat seni.
Guru-gurunya meyakinkan kedua orangtua Laura bahwa Laura suatu saat pasti akan belajar bagaimana membaca. Meskipun orangtua Laura mempercayai hal tersebut, namun tak pelak mereka bertanya-tanya akan makan waktu berapa lama itu? Apa saja yang mesti dilepas Laura selama itu? Apa yang akan dikatakan teman-teman kelasnya di saat Laura tidak bisa membaca layaknya mereka? Bagaimana cara mereka membangkitkan kepercayaan diri Laura padahal keterampilan yang paling ditekankan di sekolah, gagal dilakukannya?
Mereka memohon pada Tuhan agar melindungi Laura dan menerangi jalannya. Agar Laura bisa jadi seseorang yang cerdas dan kreatif. Mereka tidak menginginkan penyakit disleksia yang menjadi penentu nasib Laura.
Saat-saat mencemaskan itupun tiba. Inilah waktunya untuk membacakan buku favorit Laura tersebut di hadapan teman-teman kelasnya. Dan ibu Laura masih terus bimbang.
Sungguhkah sudah benar membacakan cerita tentang anak penderita disleksia di hadapan teman-teman kelas Laura?
Tidakkah penjelasan secara gamblang dalam buku tersebut bagaimana penulis telah dikerjai akibat penyakitnya akan menjadi satu alasan bagi teman-teman Laura untuk turut menyakitinya?
Maka acara membaca tersebut bukan lagi kado yang menyenangkan bagi Laura, melainkan sebuah penderitaan.
Namun ibu Laura akhirnya membuka buku tersebut dan mulai membacanya. Teman-teman Laura membentuk setengah lingkaran dan memusatkan perhatian pada ibu Laura.
Saat tiba di bagian bagaimana Patricia kecil di kerjai habis-habisan oleh teman-temannya, ibu Laura membaca kata-kata penghinaan yang tertera di sana dengan suara keras seraya hatinya meringis.
“Tolol.” “Bodoh.” “Dungu.”
Ibu Laura tak sanggup membayangkan bagaimana bila kata-kata kasar tersebut diujarkan teman-teman kelas Laura padanya.
Kemudian ibu Laura sampai ke bagian di mana Patricia kecil mengucapkan terima kasih pada Mr. Falker, karena berkat dia, gadis itu bisa mengetahui bahwa ketidakmampuannya dalam belajar menjadi penyebab segala rintangannya selama ini.
Pada saat itulah Laura mengangkat tangannya dan berujar, “Berhenti.” Ibunya menatapnya dengan bingung. “Bu, boleh aku mengatakan sesuatu?”
'Tidak. Apa yang akan dikatakan Laura? Semoga dia tidak mendengar suara debaran jantungku.' bisik ibu Laura dalam hati. “Tentu saja, Sayang. Apa yang kauingin sampaikan pada teman-teman kelasmu?”
Laura menatap teman-teman kelasnya, dia berdehem dan kemudian, “Aku memiliki apa yang dimiliki gadis itu. Aku menderita disleksia. Aku seperti Patricia Polacco.” “Kalian tahu aku seorang seniman yang baik dan mungkin itulah alasan kenapa otakku butuh waktu yang lama untuk membaca. Tapi aku sangat pintar dan aku akan tumbuh menjadi seorang penulis. Seperti Patricia Polacco.” Suara Laura tidak terdengar malu maupun ragu. Dia penuh percaya diri, dan bahkan ada rasa bangga. Dia kemudian berbalik pada ibunya, “Baik, Bu, lanjutkanlah ceritanya.”
Ibunya pun lanjut membacakan buku tersebut hingga sampai ke bagian ketika Patricia dewasa bertemu kembali dengan gurunya dan berkata, “Mr. Falker, aku membuat buku untuk anak-anak.” Sejenak ibu Laura terhenti dan menatap pada anak-anak, mereka begitu terkesima dengan cerita buku tersebut. Ternyata bukan hanya anak-anak teman Laura, guru Laura pun berlinangan air mata mendengarnya.
Mereka saling bertatapan dan masing-masing menyadari sesuatu yang indah, sesuatu yang luar baru saja terjadi.
Orangtua Laura berdoa agar disleksia tidak menjadi penentu nasib Laura. Namun disleksia memang telah menjadi penentu nasib Laura. Tuhan menggunakan kekurangan Laura dalam membaca untuk menjadikan Laura berani, memicu impian-impiannya dan kepercayaan dirinya. Dia melihat bagaimana ketidakmampuannya tersebut menjadi suatu motivasi, kekuatan dan bukan sebagai suatu belenggu.
Dua tahun telah berlalu semenjak acara membaca tersebut. Dan teman-teman kelas Laura tidak pernah memikirkan tentang bagaimana dia ternyata seorang penderita disleksia. Mereka justru membantunya di kala Laura membutuhkan.
'Thank You, Mr. Falker' masih menjadi salah satu buku favoritnya dan kini telah berbagi rak dengan Harry Potter.
Laura masih penuh dengan pendapat-pendapat dan masihlah seorang seniman yang lumayan baik. Dia sangat suka menulis cerita. Ejaannya memang unik, tapi itu tidak menghentikannya menuang segala cerita yang ada di benaknya ke atas kertas.
Laura berharap suatu hari dapat berterima kasih secara langsung pada Patricia Polacco yang mana diperkirakannya akan terjadi di acara pertemuan para pembaca. Itu karena Laura berencana untuk menjadi seorang penulis terkenal, aktor dan juga penyanyi.
Suatu kala, hasil seperti itu mungkin bisa diragukan. Tapi dengan berkah-berkah hadiah yang diberikan pada Laura, apapun mungkin saja terjadi.
Karena itulah kawan-kawan Kisah Motivasi yang budiman, jangan pernah merasa malu ataupun terpuruk dengan segala kekurangan yang anda miliki. Jadikanlah itu sebagai satu motivasi seperti Patricia kecil atau Laura kecil yang tidak ingin dibelenggu oleh penyakit disleksia yang mereka derita.
Kata Inspiratif: Ketidakmampuan atau kecacatan merupakan jalan untuk mendapatkan suatu ke-ekstremitas, semacam situasi yang sangat sulit, yang melemparkan cahaya yang menarik pada orang-orang.
Diceritakan kembali oleh Why untuk Kisah Motivasi